MAKALAH
Periodesasi Pendidikan Islam Pada
Masa Tabi’in Dan Tabiutabi’in
Diajukan
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Materi PAI II yang diampu Bapak Drs. H. A. Rasyid Sidiq, M.Pd.I.
Oleh:
Basrul Syaiful Amirullah 15250002P
Arif Bismantoro 13250002P
Program Studi :
Pendidikan Agama Islam
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Metro
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena
rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa
sholawat serta salam penulis sampaikan kepada nabi Muhammad Sholallohu Alaihi Wassalam,
beserta keluarga dan para sahabat. Penulis menyelesaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Materi PAI
II. Dalam tugas ini, penulis membahas Periodeisasi
Tarikh Islam Tabi’in dan Tabiuttabi’in.
Disini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Dosen pembimbing mata kuliah Materi PAI II
2.
Kedua orang tua penulis
3.
Teman-teman dan semua pihak
yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat berguna bagi
semua pihak. Penulis juga menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar dapat memperbaikinya.
Metro, April 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya
pembentukan syari’at Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam
melestarikan dan mengembangkan Islam dihadapkan pada persoalan sosial yang
sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan
hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan yang sangat berharga
untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan
tidak mungkin semuanya terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh
hari Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin
Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau
sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang
tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan
tabi’in kemudian berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau
sunnah yang secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan
tabi’in inilah kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan kuantitas hadits oleh
kalangan tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar
kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan
terjadinya perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil
ijtihad juga ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya
menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pendidikan Islam pada masa tabi’in dan tabiut
tabi’in?
C. Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui
pendidikan Islam
pada masa tabi’in dan tabiut tabi’in .
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tabi’in Dan Tabiut Tabi’in
Periodesasi penyusunan sunnah dibagi dalam beberapa tahap
diantaranya masa shohabat, tabi’in dan tabi’at tabi’in. “Kata tabi’ut tabi’in sendiri merupakan asal
dari kata kerja taba’a : mengikuti pengikut, penerus”. Dari akar kata ini ditemukan
ungkapan istilah tabi’ut tabi’in yaitu pengikutnya pengikut. Kelompok ini yang
menggantikan generasi tabi’in, mereka membentuk generasi salaf yang memiliki
otoritas tertinggi dalam bidang keagamaan bila dibandingkan dengan generasi
sesudahnya. Lantaran lebih dekat dengan generasi kenabian yang dijadikan
petunjuk terhadap kemurnian ajaran agama. Sedangkan tokoh lain Subhi Sholih
mengungkapkan tabi’ut tabi’in adalah orang yang bertemu dengan tabi’in beriman
kepada nabi dan meninggal dunia dalam keadaan memeluk Islam. Para ulama sepakat
bahwa Malik bin Annas dan Imam Safi’I masuk dalam kelompok ini.
Ungkapan ini diperkuat pula oleh Dr. Nurrudin ‘Itr bahwa
tabi’ut tabi’in adalah orang yang
bermushafahah dengan tabi’in dalam keadaan beriman kepada Rosul. Dari beberapa
ungkapan para tokoh tersebut bisa diambil pengertian bahwa tabi’ut tabi’in adalah suatu kelompok
generasi Islam yang hidup dan berjumpa dengan tabi’in, beriman kepada rosul
serta meninggal dunia dalam kondisi memeluk Islam.
B.
Pembatasan Masa Tabi’in Dan Tabi’ut Tabi’in
Dalam menentukan rentang masa tabi’ut tabi’in para ulama berbeda
pendapat namun ada suatu kejelasan tentang rentang waktu tersebut dengan
melihat akhir masa tabi’in. Al Hakim menentukan masa berakhirnya masa tabi’in
setelah orang yang bertemu dengan shohabat terakhir meninggal. Jadi tabi’in
terakhir adalah orang yang bertemu dengan Abu Thufail di Mekkah, As Saib di
Madina, Abu Ummah di Syam, Ubaidillah bin Auf di Kuffah dan Annas bin Malik di
Basyroh. Atau ada yang menyebutkan lagi Khalaf bin Khalifah yang
wafat pada tahun 181 H. Dianggap sebagai tabi’in terakhir yang wafat. Dalam ungkapan lain Subhi Shalih
menyatakan bahwa Imam Ahmad bin Hambal dianggap termasuk generasi sesudah tabi’ut tabi’in karena ia wafat pada tahun
241 H sedangkan periode tabi’ut tabi’in berakhir pada tahun 220 H. Ada lagi yang menyatakan bahwa
periode tabi’ut
tabi’in berakhir pada tahun 150 H. dengan ini dapat dikatakan bahwa periode
tabi’ut tabi’in dimulai tahun 151 H dan
berakhir 220 H, dalam pembagian kelompok tabi’ut tabi’in dibagi menjadi tiga yaitu thabaqat
tabi’ut
tabi’in
yang pertama pertama Al Auzaiy, Malik bin Annas dan Sofyan Tsauri serta tabi’it
tabi’in yang kedua termasuk di dalamnya Ibnu Uzaiyah dan Ibnu Ulaiyyah dan
berakhir dengan thobaghot tabi’it tabi’in yang kedua termasuk didalamnya Ibnu
Uzaiyah dan Ibnu Ulaiyyah dan berakhir dengan thobaghot tabi’ut tabi’in yang terakhir. Dalam
kelompok ini termasuk Abu Dawud At Thoylisi dan Asy Syafi’i.
C.
Cara Penerimaan Dan Penyampaian
Hadits
Telah kita ketahui kemampuan para penulis hadits pada abad
kedua hijriyah secara teknis lebih baik dan cukup memadai artinya bahwa
kemampuannya dalam bidang tulis menulis, baca dan pembukuan sudah mulai
berkembang. Pada kesempatan ini kita akan membagi sistem penerimaan dan
penyampaian hadits sebagai berikut :
1) Penyampaian dengan bahasa lisan.
Contoh kejadian ini sebagaimana yang dilakukan oleh Sofyan Tsauri, Abdullah bin
Abdullah Al Aswad Al Harisi mengatakan ketika Sofyan merasa tidak aman beliau
berusaha menyelamatkan buku-bukunya dan ketika keadaan sudah aman beliau
memanggil saya dan Yazid Al Mukhibi. Kami berdua lalu mengeluarkan kitab-kitab
beliau. Ketika saya ketemukan bahwa dalam harta rikaz wajib dikeluarkan
zakatnya 1/5 beliau tertawa lalu mengambil sembilan alat penyimpan buku lagi
dan diberikan kepada kami. Beliau berkata “semua itu kembalikan kesini” seraya
menunjuk kebawah dadanya. Saya lalu berkata kalau begitu tinggalkan saja kitab
ini, sekarang beritahukanlah hadits itu kepada kami, beliau lalu meriwayatkan
hadits kepada kami tanpa melihat kitab. Metode ini sebetulnya sudah mulai
tampak sejak abad II hijriyah dan berlangsung sampai lama sekali sesudah itu.
Tetapi dalam lingkup yang sempit dan sangat sederhana. Para murid tinggal dalam
waktu yang cukup lama. Dan dari pemahaman semacam ini lama kelamaan akan
memperoleh hadits dari guru-gurunya.
2) Guru membacakan kitab
Dalam membaca kitab dituntut untuk
teliti dan sabar, seorang guru punya kebiasaan membacakan hadits-hadits kepada
muridnya dengan syarat mudah didengar dan mudah dipahami. Cara ini dibagi dalam
beberapa kelompok antara lain :
a. Guru membacakan kitabnya sendiri
sedang murid mendengarkanya. Kondisi seperti ini sebagaimana yang diungkapkan
oleh Imam Ahmad, ia mengatakan bahwa Abdullah bin Mubarok adalah orang yang
paling banyak punya hadits, ia juga seorang hafidz, ia tidak pernah mengajarkan
hadits kecuali membaca kitab.
b. Guru membacakan kitab orang lain
sedang murid mendengarkannya. Abu Abdillah mengatakan bahwa Ibnu Jayid
mengajarkan kitab-kitab dari orang lain.
c. Murid membacakan suatu kitab sedang
guru mendengarkannya. Guru di sini berfungsi sebagai fasilitator bagi muridnya
dengan proses pembelajaran lebih mengaktifkan kegiatan siswa. Kegiatan semacam
ini sebagaimana biasa dilakukan oleh Ibnu Mahdi, ia berkata tentang kitab As
Sholah. Saya membacakannya kepada Malik begitu juga kitab-kitab yang lain,
saya membacakannya kepada beliau, waktu membaca saya melihat kitabku. Tampaknhya
memang ada sejumlah ahli-ahli hadits yang sering membacakan kitab-kitab
tertentu dihadapan gurunya. Habib bin Abu Thalib sekretaris Malik bin Annas, ia
selalu membacakan hadits dihadapan Malik bin Annas. Sejak awal abad II hijriyah
metode membacakan kitab dihadapan guru sudah dikenal. Metode ini sangat
berkembang dikalangan ahli-ahli hadits dan tampaknya kadang-kadang guru
membagikannya kepada para murid. Ibnu Hibban mengatakan habib bin Abu Tholib
sekretaris Malik bin Annas meriwayatkan hadits dari orang-orang yang kurang tsiqoh.
Ia membukukan hadits-hadits orang lain dalam buku mereka. Oleh karena itu orang
yang mendengar pembacaan hadits dari Habib tidak dapat dijamin keshohihannya. Dari kritikan Ibnu Hibban ini dapat
disimpulkan bahwa membagi-bagi naskah hadits kepada murid-murid lalu diminta
untuk membacakannya itu sudah biasa terjadi. Kalau hal itu tak pernah dilakukan
kenapa ada kritikan Ibnu Hibban.
3) Imla’
Sebetulnya banyak sekali
contoh-contoh yang harus dilakukan oleh para sahabat bahkan rasul sendiri
tentang metode imla’ ini. Tapi juga ada satu hal yang dilakukan pada abad II
sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Nu’aim, ia berkata saya melihat Sofyan
datang ketempat Umar bin Dzar ia menanyakan sesuatu tetapi Ats Tsauri tidak
menulis. Kemudian Sofyan bangun lalu pergi ke padang atsir dan saya
mengikutinya. Saya lihat ia duduk kemudian mengeluarkan papan-papan dari tempat
tali celananya lalu ia menulisnya. Atau juga hal ini yang pernah dilakukan oleh
Ibnu Juraiji sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hambal, seketika Ibnu Juraiji
datang ke Basyroh. Ahmad bin Mu’adz berdiri dan bikin ribut seraya berkata
“kami tidak mau menulis hadits kecuali di imla’kan.” Ibnu Hammbal ditanya
apakah Ibnu Juraiji kemudian mengimla’kan ? Jawabnya ya. Mereka menulis
berdasarkan imla’. Dengan melihat beberapa kejadian di atas tampaknya metode
imla’ juga dipakai tapi kurang begiru populer bila dibanding dengan metode
lainnya yang sudah dilakukan pada saat itu.
4)
Pinjam meminjam dalam rangka
menyeleksi.
Berkaitan dengan masalah penyebaran
hadits baik dengan cara lisan, imla’ ada satu hal penting yang harus dilakukan
pada masa tabi’it tabi’in yaitu tentang pinjam meminjam kitab dan saling
koreksi. Sofyan Sairi pernah mengoreksi kitab-kitab zaidah. Ahmad bin
sim’an mengatakan bahwa Ibnu Mahdi berkata “Zaidah meminjamkan kitab-kitabnya
kepada Sofyan Sairi.” Tanya Ahmad bin Sim’an “Apakah berita itu benar?” jawab
Ibnu Mahdi Ya. Bahkan mereka tidak berbeda pendapat kecuali dalam sepuluh
hadits saja. Kegiatan serupa juga sering dilakukan Mailk bin Annas, ketika itu
Ibnu Wahab diberi tahu bahwa Ibnu Al Qosim banyak berbeda pendapat tentang
masalah hadits dengan dia. Ia menjawab ya. Memang Ibnu Al Qosim datang ketempat
Maik ketika Malik sudah tua, sedang saya datang ketempat Malik ketika Malik
masih muda, beliau masih segar dan kuat, kitabku diambilnya dan dibaca apabila
beliau menemukan kekeliruan dalam kitabku, beliau mengambil kain lalu dibasahi,
kemudian dihapusnya kekliruan itu, setelah itu beliau membetulkan kembali. Mencermati beberapa kejadian
tersebut bisa diambil pengertian tentang cara penyampaian dan penerimaan hadits
pada waktu itu dengan mengemukakan bahasa tulisan melalui kitab-kitab yang ada,
kepingan kayu, melalui hafalan dengan metode mendengarkan ucapan para
guru-gurunya. Demikian juga metode imla’ sudah dilakukan bersamaan sekaligus
dengan koreksinya, dengan korektor para gurunya.
D.
Tokoh-Tokoh
Hadits Masa Tabi’ut
Tabi’in
1.
Al Auza’iy
Nama
lengkapnya Abu Amr Abdurrahman Ibnu Amr As Syauf Ad Dimaski. Ia juga dikenal
seorang imam fiqh. Dilahirkan pada tahun 88 H dan wafat pada tahun 157. Beliau
menerima hadits dari golongan tabi’in . abdurrahman Ibnu Muhdi berkata “tak ada
seorangpun di Syam yang lebih alim tentang sunnah selain Al Auzay”.
2. Syu’bah
bin Hajaj
Syu’ubah
Ibnu Al Hajaj ialah Abu Bustham Syu’ubah Ibnu Al Hajaj Al Azdi. Beliau berasal
dari Wasith kemudian pindah ke Basyroh. Beliau seorang hafidz dan menerima
hadits dari Ibnu Sirin, Amr Ibnu Diman dan lain-lain. Tanggal lahirnya tidak
diketahui hanya beliau wafat pada usia 77 tahun pada permulaan tahun 160 H.
Keilmuannya dalam bidang hadits Sofan As Sairi berkata “Syu’ubah adalah amirul
mukminin dalam bidang hadits”.
3. Sofyan As
Tsauri
Dia adalah
Al Hafidz, Ad Dhabith (penghafal yang cermat), dengan nama lengkap Abu Abdillah
Sofyan bin Sa’id Al Kufi. Karena begitu cermatnya dalam hadits Syu’ubah bin
Hajaj, Sofyan bin Uyaynah, Yahya bin Ma’in memberi gelar kepada amirul mukminin
fil hadits. Abdullah bin Mubarok berkata “aku telah mencatat dari 1100
orang guru dan aku tidak pernah mencatat dari seorang yang keutamaannya
melebihi Sofyan. Beliau lahir di Basrah pada tahun 97 H dan wafat pada tahun
161 H.
4. Laits bin
Sa’ad
Nama
lengkapnya Al Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al Fahmi. Ia seorang kaya raya bahkan
hasil tahunannya lebih dari 20.000 dinar. Al Laits sebagaimana dikatakan oleh
Imam Nawawi selalu menjahui Tadlis dalam periwayatannya, tetapi ia berpendapat
bukan halangan tanpa ijazah.
5. Malik bin
Anas
Beliau
seorang ahli fiqh dan hadits pengarang kitab Muwaththo’ dan disebut-sebut
sebagai Hujjah Allah SWT atas makhluknya sesudah tabi’in, wafat tahun 179 H.
6. Waqi’ Ibnu
Al Jarrah
Nama
lengkapnya Abu Sufyan Waqi’ Ibnu Jarrah Ibnu Malik Ibnu ‘Adiy salah seorang
dari ‘Ulama tabi’it tabi’in dan seorang hafidz ahli hadits besar di Kuffah.
Tentang kebesarannya, Ibnu Ma’in berkata : “Tak pernah aku melihat seorang pun
yang meriwayatkan hadits semata-mata karena Allah SWT kecuali dari Waqi”. Beliau
merupakan gurunya Imam Syafi’I dilahirkan pada tahun 127 H, dan wafat tahun 197
H.
7. Sufyan
Ibnu ‘Uyainah
Beliau
punya nama lengkap Abu Muhammad Sufyan Ibnu Al Imron Al Kufiy Al Hailaliy.
Beliau menerima Hadits dari Naz Zuhri, Amr bin Dinar, As Sya’biy, Abdullah Ibnu
Dinar, Muhammad Ibnu Mungkadir dan dari sejumlah ‘Ulama-ulama lain. Ahmad Ibnu
Abdullah berkata : “Ibnu ‘Uyainah seorang yang paling besar pembicaraannya, dia
salah seorang dari hukama’ hadits”. Beliau lahir pada tahun 107 H, dan wafat
tahun 198 H.
8. Abdurrahman
Ibnu Mahdi
Abdurrahman
Ibnu Mahdi punya nama lengkap Abu Sa’id Abdurrahman Ibnu Mahdi Ibnu Hasan Ibnu
Abdurrahman Al Ambary Al Bahiy. Beliau seorang imam hadits yang jadi pegangan
umat di masanya. Tentang kepakarannya Ali Ibnu Madini berkata : Demi Allah SWT
andai kata saya bersumpah bahwa saya tidak pernah melihat orang yang lebih alim
dari pada Ibnu Mahdi.
9. Yahya bin
Sa’id Qatthan
Beliau
adalah Abu Sa’id Yahya Ibnu Said Ibnu Faruh At Tamimy Al Bashry Al Qatthan.
Ibnu Munjuaih berkata : Yahya Al Qatthan adalah penghulu ilmu baik dalam bidang
maupun dalam bidang fiqih. Beliau dilahirkan pada tahun 127 H, dan wafat pada
tahun 198 H.
10. As Syafi’i
Beliau
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Ibnu Abas Ibnu Ustman Ibnu Syafi’i Ibnu
As Syaib Ibnu As Syaib Ibnu Ubaid Ibnu Abdul ‘Aziz Ibnu Abdul Mutholib Ibnu
Abdul Manaf. Beliau lahir di Ghuzzah pada tahun 150 H, ahli dalam bidang fiqih dan hadits. Pada usia tujuh
tahun telah hafal Al Qur’an dan pada usia sepuluh tahun telah menguasai kitab
Al Muaththa’ karangan Imam Malik.
Imam
Syafi’i mengumpulkan hadits yang diriwayatkannya dalam suatu kitab yang diberi
nama Al Musnad, Musnad ini telah disyarahkan oleh Ibnu Atsir (504 H), dengan
nama Asy Syafi. Disamping
itu beliau juga mengarang Mukhtaliful Hadits yang berisi tentang jalan atau
cara menguatkan sunnah dan cara mengharuskan kita menerima Hadits Ahad.
Pada masa Tabi’it Tabi’in ini telah
dimulai pemisahan Hadits, tafsir dari hadits umum dan juga pemisahan
hadits-hadits sirah dan maghazinya. Maka
mula-mula memisahkan hadits-hadits yang berpautan dengan sirah ialah Muhammad
Ibnu Ishaq Ibnu Yasar Al Muttaliby (151 H).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tabi’ut Tabi’in adalah orang yang hidup
bermushafahah dengan tabi’in, meninggal dalam keadaan beriman kepada Rasulullah
dan memeluk Islam. Rentang masa tabi’it tabi’in dimulai pada tahun 150 H.
sampai 220 H. Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah Sofyan
Tsauri, Waqi’ Ibnu Jarah, Yahya bin Sa’id Qaththan, Malik bin Anas, Sofyan ibnu
‘Uyainah, Tsu’bah bin Hajjaj, Abdurrahman ibnu Mahdi, Al Auza’i, Al Laits dan
Asy Syafi’i. Pada masa tabi’it tabi’in baru dimulai tentang penulisan
hadits dalam bentuk musnad dan juga mulai dipisahkan antara hadits sirah dengan
hadits tafsir dari hadits umum maupun maghazinya. Tokoh yang paling masyhur dalam
periode tabi’it tabi’in adalah Malik bin Anas dengan kitabnya Al Muwaththa’.
B.
Saran
Perkembangan
Islam memiliki beberapa fase perkembangan. Dari zaman Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam hingga zaman sekarang. Masing-masing zaman memiliki
tahapan-tahapan. Dan dengan
adanya makalah ini kita akan semangat dalam mengembangkan Islam hingga Islam
akan jaya pada titik akhirnya.
Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Cyril Glase, Ensiklopedia Islam (ringkas) terjemah,
Rajawali Press, Jakarta : 1996.
Ahmad Asy Syurbasy, Dr. Al Aimmatul Al Ba’ah, terjemah,
Bumi Aksara, Jakarta : 1991.
Ahmad bin Muhammad ibnu Hanbal, Al I’lal Wa Ma’rifat Al Rijal,
Editor Angkasa, 1933.
http://www.al-shia.org/html/id/books/001/01.html diakses
Senin 25 April 2016 pukul 08:00 wib
http://Serambi-ilmu.blogspot.com/2009/03/peradaban-islam-adalah-peradaban-ilmu.html
diakases Senin 25
April 2016 pukul 08:00 wib