Kamis, 26 Mei 2016

MAKALAH Periodesasi Pendidikan Islam Pada Masa Tabi’in Dan Tabiutabi’in



MAKALAH

Periodesasi Pendidikan Islam Pada Masa Tabi’in Dan Tabiutabi’in

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Materi PAI II yang diampu Bapak Drs. H. A. Rasyid Sidiq, M.Pd.I.



Oleh:
Basrul Syaiful Amirullah 15250002P
Arif Bismantoro               13250002P

Program Studi : Pendidikan Agama Islam


Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Metro
2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa sholawat serta salam penulis sampaikan kepada nabi Muhammad Sholallohu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan para sahabat. Penulis menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Materi PAI II. Dalam tugas ini, penulis membahas Periodeisasi Tarikh Islam Tabi’in dan  Tabiuttabi’in.
Disini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Dosen pembimbing mata kuliah Materi PAI II
2.      Kedua orang tua penulis
3.      Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat berguna bagi semua pihak. Penulis juga menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar dapat memperbaikinya.




Metro, April 2016


Penulis
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari’at Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh hari Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana pendidikan Islam pada masa tabi’in dan tabiut tabi’in?

C. Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui pendidikan Islam pada masa tabi’in dan tabiut tabi’in .
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tabi’in Dan Tabiut Tabi’in
Periodesasi penyusunan sunnah dibagi dalam beberapa tahap diantaranya masa shohabat, tabi’in dan tabi’at tabi’in. “Kata tabi’ut tabi’in sendiri merupakan asal dari kata kerja taba’a : mengikuti pengikut, penerus”. Dari akar kata ini ditemukan ungkapan istilah tabi’ut tabi’in yaitu pengikutnya pengikut. Kelompok ini yang menggantikan generasi tabi’in, mereka membentuk generasi salaf yang memiliki otoritas tertinggi dalam bidang keagamaan bila dibandingkan dengan generasi sesudahnya. Lantaran lebih dekat dengan generasi kenabian yang dijadikan petunjuk terhadap kemurnian ajaran agama. Sedangkan tokoh lain Subhi Sholih mengungkapkan tabi’ut tabi’in adalah orang yang bertemu dengan tabi’in beriman kepada nabi dan meninggal dunia dalam keadaan memeluk Islam. Para ulama sepakat bahwa Malik bin Annas dan Imam Safi’I masuk dalam kelompok ini.
Ungkapan ini diperkuat pula oleh Dr. Nurrudin ‘Itr bahwa tabi’ut tabi’in adalah orang yang bermushafahah dengan tabi’in dalam keadaan beriman kepada Rosul. Dari beberapa ungkapan para tokoh tersebut bisa diambil pengertian bahwa tabi’ut tabi’in adalah suatu kelompok generasi Islam yang hidup dan berjumpa dengan tabi’in, beriman kepada rosul serta meninggal dunia dalam kondisi memeluk Islam.

B.     Pembatasan Masa Tabi’in Dan Tabi’ut Tabi’in
Dalam menentukan rentang masa tabi’ut tabi’in para ulama berbeda pendapat namun ada suatu kejelasan tentang rentang waktu tersebut dengan melihat akhir masa tabi’in. Al Hakim menentukan masa berakhirnya masa tabi’in setelah orang yang bertemu dengan shohabat terakhir meninggal. Jadi tabi’in terakhir adalah orang yang bertemu dengan Abu Thufail di Mekkah, As Saib di Madina, Abu Ummah di Syam, Ubaidillah bin Auf di Kuffah dan Annas bin Malik di Basyroh. Atau ada yang menyebutkan lagi Khalaf bin Khalifah yang wafat pada tahun 181 H. Dianggap sebagai tabi’in terakhir yang wafat. Dalam ungkapan lain Subhi Shalih menyatakan bahwa Imam Ahmad bin Hambal dianggap termasuk generasi sesudah tabi’ut tabi’in karena ia wafat pada tahun 241 H sedangkan periode tabi’ut tabi’in berakhir pada tahun 220 H. Ada lagi yang menyatakan bahwa periode tabi’ut tabi’in berakhir pada tahun 150 H. dengan ini dapat dikatakan bahwa periode tabi’ut tabi’in dimulai tahun 151 H dan berakhir 220 H, dalam pembagian kelompok tabi’ut tabi’in dibagi menjadi tiga yaitu thabaqat tabi’ut tabi’in yang pertama pertama Al Auzaiy, Malik bin Annas dan Sofyan Tsauri serta tabi’it tabi’in yang kedua termasuk di dalamnya Ibnu Uzaiyah dan Ibnu Ulaiyyah dan berakhir dengan thobaghot tabi’it tabi’in yang kedua termasuk didalamnya Ibnu Uzaiyah dan Ibnu Ulaiyyah dan berakhir dengan thobaghot tabi’ut tabi’in yang terakhir. Dalam kelompok ini termasuk Abu Dawud At Thoylisi dan Asy Syafi’i.

C.     Cara Penerimaan Dan Penyampaian Hadits
Telah kita ketahui kemampuan para penulis hadits pada abad kedua hijriyah secara teknis lebih baik dan cukup memadai artinya bahwa kemampuannya dalam bidang tulis menulis, baca dan pembukuan sudah mulai berkembang. Pada kesempatan ini kita akan membagi sistem penerimaan dan penyampaian hadits sebagai berikut :
1)      Penyampaian dengan bahasa lisan. Contoh kejadian ini sebagaimana yang dilakukan oleh Sofyan Tsauri, Abdullah bin Abdullah Al Aswad Al Harisi mengatakan ketika Sofyan merasa tidak aman beliau berusaha menyelamatkan buku-bukunya dan ketika keadaan sudah aman beliau memanggil saya dan Yazid Al Mukhibi. Kami berdua lalu mengeluarkan kitab-kitab beliau. Ketika saya ketemukan bahwa dalam harta rikaz wajib dikeluarkan zakatnya 1/5 beliau tertawa lalu mengambil sembilan alat penyimpan buku lagi dan diberikan kepada kami. Beliau berkata “semua itu kembalikan kesini” seraya menunjuk kebawah dadanya. Saya lalu berkata kalau begitu tinggalkan saja kitab ini, sekarang beritahukanlah hadits itu kepada kami, beliau lalu meriwayatkan hadits kepada kami tanpa melihat kitab. Metode ini sebetulnya sudah mulai tampak sejak abad II hijriyah dan berlangsung sampai lama sekali sesudah itu. Tetapi dalam lingkup yang sempit dan sangat sederhana. Para murid tinggal dalam waktu yang cukup lama. Dan dari pemahaman semacam ini lama kelamaan akan memperoleh hadits dari guru-gurunya.
2)      Guru membacakan kitab
Dalam membaca kitab dituntut untuk teliti dan sabar, seorang guru punya kebiasaan membacakan hadits-hadits kepada muridnya dengan syarat mudah didengar dan mudah dipahami. Cara ini dibagi dalam beberapa kelompok antara lain :
a.       Guru membacakan kitabnya sendiri sedang murid mendengarkanya. Kondisi seperti ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ahmad, ia mengatakan bahwa Abdullah bin Mubarok adalah orang yang paling banyak punya hadits, ia juga seorang hafidz, ia tidak pernah mengajarkan hadits kecuali membaca kitab.
b.      Guru membacakan kitab orang lain sedang murid mendengarkannya. Abu Abdillah mengatakan bahwa Ibnu Jayid mengajarkan kitab-kitab dari orang lain.
c.       Murid membacakan suatu kitab sedang guru mendengarkannya. Guru di sini berfungsi sebagai fasilitator bagi muridnya dengan proses pembelajaran lebih mengaktifkan kegiatan siswa. Kegiatan semacam ini sebagaimana biasa dilakukan oleh Ibnu Mahdi, ia berkata tentang kitab As Sholah. Saya membacakannya kepada Malik begitu juga kitab-kitab yang lain, saya membacakannya kepada beliau, waktu membaca saya melihat kitabku. Tampaknhya memang ada sejumlah ahli-ahli hadits yang sering membacakan kitab-kitab tertentu dihadapan gurunya. Habib bin Abu Thalib sekretaris Malik bin Annas, ia selalu membacakan hadits dihadapan Malik bin Annas. Sejak awal abad II hijriyah metode membacakan kitab dihadapan guru sudah dikenal. Metode ini sangat berkembang dikalangan ahli-ahli hadits dan tampaknya kadang-kadang guru membagikannya kepada para murid. Ibnu Hibban mengatakan habib bin Abu Tholib sekretaris Malik bin Annas meriwayatkan hadits dari orang-orang yang kurang tsiqoh. Ia membukukan hadits-hadits orang lain dalam buku mereka. Oleh karena itu orang yang mendengar pembacaan hadits dari Habib tidak dapat dijamin keshohihannya. Dari kritikan Ibnu Hibban ini dapat disimpulkan bahwa membagi-bagi naskah hadits kepada murid-murid lalu diminta untuk membacakannya itu sudah biasa terjadi. Kalau hal itu tak pernah dilakukan kenapa ada kritikan Ibnu Hibban.
3)       Imla’
Sebetulnya banyak sekali contoh-contoh yang harus dilakukan oleh para sahabat bahkan rasul sendiri tentang metode imla’ ini. Tapi juga ada satu hal yang dilakukan pada abad II sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Nu’aim, ia berkata saya melihat Sofyan datang ketempat Umar bin Dzar ia menanyakan sesuatu tetapi Ats Tsauri tidak menulis. Kemudian Sofyan bangun lalu pergi ke padang atsir dan saya mengikutinya. Saya lihat ia duduk kemudian mengeluarkan papan-papan dari tempat tali celananya lalu ia menulisnya. Atau juga hal ini yang pernah dilakukan oleh Ibnu Juraiji sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hambal, seketika Ibnu Juraiji datang ke Basyroh. Ahmad bin Mu’adz berdiri dan bikin ribut seraya berkata “kami tidak mau menulis hadits kecuali di imla’kan.” Ibnu Hammbal ditanya apakah Ibnu Juraiji kemudian mengimla’kan ? Jawabnya ya. Mereka menulis berdasarkan imla’. Dengan melihat beberapa kejadian di atas tampaknya metode imla’ juga dipakai tapi kurang begiru populer bila dibanding dengan metode lainnya yang sudah dilakukan pada saat itu.
4)       Pinjam meminjam dalam rangka menyeleksi.
Berkaitan dengan masalah penyebaran hadits baik dengan cara lisan, imla’ ada satu hal penting yang harus dilakukan pada masa tabi’it tabi’in yaitu tentang pinjam meminjam kitab dan saling koreksi. Sofyan Sairi pernah mengoreksi kitab-kitab zaidah. Ahmad bin sim’an mengatakan bahwa Ibnu Mahdi berkata “Zaidah meminjamkan kitab-kitabnya kepada Sofyan Sairi.” Tanya Ahmad bin Sim’an “Apakah berita itu benar?” jawab Ibnu Mahdi Ya. Bahkan mereka tidak berbeda pendapat kecuali dalam sepuluh hadits saja. Kegiatan serupa juga sering dilakukan Mailk bin Annas, ketika itu Ibnu Wahab diberi tahu bahwa Ibnu Al Qosim banyak berbeda pendapat tentang masalah hadits dengan dia. Ia menjawab ya. Memang Ibnu Al Qosim datang ketempat Maik ketika Malik sudah tua, sedang saya datang ketempat Malik ketika Malik masih muda, beliau masih segar dan kuat, kitabku diambilnya dan dibaca apabila beliau menemukan kekeliruan dalam kitabku, beliau mengambil kain lalu dibasahi, kemudian dihapusnya kekliruan itu, setelah itu beliau membetulkan kembali. Mencermati beberapa kejadian tersebut bisa diambil pengertian tentang cara penyampaian dan penerimaan hadits pada waktu itu dengan mengemukakan bahasa tulisan melalui kitab-kitab yang ada, kepingan kayu, melalui hafalan dengan metode mendengarkan ucapan para guru-gurunya. Demikian juga metode imla’ sudah dilakukan bersamaan sekaligus dengan koreksinya, dengan korektor para gurunya.

D.    Tokoh-Tokoh Hadits Masa Tabi’ut Tabi’in
1.      Al Auza’iy
Nama lengkapnya Abu Amr Abdurrahman Ibnu Amr As Syauf Ad Dimaski. Ia juga dikenal seorang imam fiqh. Dilahirkan pada tahun 88 H dan wafat pada tahun 157. Beliau menerima hadits dari golongan tabi’in . abdurrahman Ibnu Muhdi berkata “tak ada seorangpun di Syam yang lebih alim tentang sunnah selain Al Auzay”.
2.      Syu’bah bin Hajaj
Syu’ubah Ibnu Al Hajaj ialah Abu Bustham Syu’ubah Ibnu Al Hajaj Al Azdi. Beliau berasal dari Wasith kemudian pindah ke Basyroh. Beliau seorang hafidz dan menerima hadits dari Ibnu Sirin, Amr Ibnu Diman dan lain-lain. Tanggal lahirnya tidak diketahui hanya beliau wafat pada usia 77 tahun pada permulaan tahun 160 H. Keilmuannya dalam bidang hadits Sofan As Sairi berkata “Syu’ubah adalah amirul mukminin dalam bidang hadits”.


3.      Sofyan As Tsauri
Dia adalah Al Hafidz, Ad Dhabith (penghafal yang cermat), dengan nama lengkap Abu Abdillah Sofyan bin Sa’id Al Kufi. Karena begitu cermatnya dalam hadits Syu’ubah bin Hajaj, Sofyan bin Uyaynah, Yahya bin Ma’in memberi gelar kepada amirul mukminin fil hadits. Abdullah bin Mubarok berkata “aku telah mencatat dari 1100 orang guru dan aku tidak pernah mencatat dari seorang yang keutamaannya melebihi Sofyan. Beliau lahir di Basrah pada tahun 97 H dan wafat pada tahun 161 H.
4.      Laits bin Sa’ad
Nama lengkapnya Al Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al Fahmi. Ia seorang kaya raya bahkan hasil tahunannya lebih dari 20.000 dinar. Al Laits sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi selalu menjahui Tadlis dalam periwayatannya, tetapi ia berpendapat bukan halangan tanpa ijazah.
5.      Malik bin Anas
Beliau seorang ahli fiqh dan hadits pengarang kitab Muwaththo’ dan disebut-sebut sebagai Hujjah Allah SWT atas makhluknya sesudah tabi’in, wafat tahun 179 H.
6.      Waqi’ Ibnu Al Jarrah
Nama lengkapnya Abu Sufyan Waqi’ Ibnu Jarrah Ibnu Malik Ibnu ‘Adiy salah seorang dari ‘Ulama tabi’it tabi’in dan seorang hafidz ahli hadits besar di Kuffah. Tentang kebesarannya, Ibnu Ma’in berkata : “Tak pernah aku melihat seorang pun yang meriwayatkan hadits semata-mata karena Allah SWT kecuali dari Waqi”. Beliau merupakan gurunya Imam Syafi’I dilahirkan pada tahun 127 H, dan wafat tahun 197 H.
7.      Sufyan Ibnu ‘Uyainah
Beliau punya nama lengkap Abu Muhammad Sufyan Ibnu Al Imron Al Kufiy Al Hailaliy. Beliau menerima Hadits dari Naz Zuhri, Amr bin Dinar, As Sya’biy, Abdullah Ibnu Dinar, Muhammad Ibnu Mungkadir dan dari sejumlah ‘Ulama-ulama lain. Ahmad Ibnu Abdullah berkata : “Ibnu ‘Uyainah seorang yang paling besar pembicaraannya, dia salah seorang dari hukama’ hadits”. Beliau lahir pada tahun 107 H, dan wafat tahun 198 H.
8.      Abdurrahman Ibnu Mahdi
Abdurrahman Ibnu Mahdi punya nama lengkap Abu Sa’id Abdurrahman Ibnu Mahdi Ibnu Hasan Ibnu Abdurrahman Al Ambary Al Bahiy. Beliau seorang imam hadits yang jadi pegangan umat di masanya. Tentang kepakarannya Ali Ibnu Madini berkata : Demi Allah SWT andai kata saya bersumpah bahwa saya tidak pernah melihat orang yang lebih alim dari pada Ibnu Mahdi.
9.      Yahya bin Sa’id Qatthan
Beliau adalah Abu Sa’id Yahya Ibnu Said Ibnu Faruh At Tamimy Al Bashry Al Qatthan. Ibnu Munjuaih berkata : Yahya Al Qatthan adalah penghulu ilmu baik dalam bidang maupun dalam bidang fiqih. Beliau dilahirkan pada tahun 127 H, dan wafat pada tahun 198 H.
10.  As Syafi’i
Beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Ibnu Abas Ibnu Ustman Ibnu Syafi’i Ibnu As Syaib Ibnu As Syaib Ibnu Ubaid Ibnu Abdul ‘Aziz Ibnu Abdul Mutholib Ibnu Abdul Manaf. Beliau lahir di Ghuzzah pada tahun 150 H, ahli dalam  bidang fiqih dan hadits. Pada usia tujuh tahun telah hafal Al Qur’an dan pada usia sepuluh tahun telah menguasai kitab Al Muaththa’ karangan Imam Malik.
Imam Syafi’i mengumpulkan hadits yang diriwayatkannya dalam suatu kitab yang diberi nama Al Musnad, Musnad ini telah disyarahkan oleh Ibnu Atsir (504 H), dengan nama Asy Syafi. Disamping itu beliau juga mengarang Mukhtaliful Hadits yang berisi tentang jalan atau cara menguatkan sunnah dan cara mengharuskan kita menerima Hadits Ahad.
Pada masa Tabi’it Tabi’in ini telah dimulai pemisahan Hadits, tafsir dari hadits umum dan juga pemisahan hadits-hadits sirah dan maghazinya.  Maka mula-mula memisahkan hadits-hadits yang berpautan dengan sirah ialah Muhammad Ibnu Ishaq Ibnu Yasar Al Muttaliby (151 H).

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tabi’ut Tabi’in adalah orang yang hidup bermushafahah dengan tabi’in, meninggal dalam keadaan beriman kepada Rasulullah dan memeluk Islam. Rentang masa tabi’it tabi’in dimulai pada tahun 150 H. sampai 220 H. Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah Sofyan Tsauri, Waqi’ Ibnu Jarah, Yahya bin Sa’id Qaththan, Malik bin Anas, Sofyan ibnu ‘Uyainah, Tsu’bah bin Hajjaj, Abdurrahman ibnu Mahdi, Al Auza’i, Al Laits dan Asy Syafi’i. Pada masa tabi’it tabi’in baru dimulai tentang penulisan hadits dalam bentuk musnad dan juga mulai dipisahkan antara hadits sirah dengan hadits tafsir dari hadits umum maupun maghazinya. Tokoh yang paling masyhur dalam periode tabi’it tabi’in adalah Malik bin Anas dengan kitabnya Al Muwaththa’.
B.     Saran
Perkembangan Islam memiliki beberapa fase perkembangan. Dari zaman Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga zaman sekarang. Masing-masing zaman memiliki tahapan-tahapan. Dan dengan adanya makalah ini kita akan semangat dalam mengembangkan Islam hingga Islam akan jaya pada titik akhirnya. Wallahu a’lam










DAFTAR PUSTAKA

      Cyril Glase, Ensiklopedia Islam (ringkas) terjemah, Rajawali Press, Jakarta : 1996.
      Ahmad Asy Syurbasy, Dr. Al Aimmatul Al Ba’ah, terjemah, Bumi Aksara, Jakarta : 1991.
      Ahmad bin Muhammad ibnu Hanbal, Al I’lal Wa Ma’rifat Al Rijal, Editor Angkasa, 1933.
http://www.al-shia.org/html/id/books/001/01.html diakses Senin 25 April 2016 pukul 08:00 wib
http://Serambi-ilmu.blogspot.com/2009/03/peradaban-islam-adalah-peradaban-ilmu.html diakases Senin 25 April 2016 pukul 08:00 wib